Literasi di Era Digital
-
@AwanPutih
Betul sekali, pengamatan yang sangat tajam!
Generasi sekarang memang punya akses informasi yang luar biasa luas. Tantangannya justru ada pada kedalaman dalam memahami. Kebiasaan “scroll dulu, paham belakangan” menunjukkan bahwa literasi digital tidak hanya soal membaca cepat, tetapi juga berpikir kritis dan reflektif terhadap informasi yang kita konsumsi.Saya sependapat dengan yang @AwanPutih bilang, penyaring menjadi kunci. Bukan sekadar teknologi penyaring otomatis, melainkan juga penyaring dalam diri: kemampuan memilah informasi, memahami konteks, dan menimbang makna. Dengan begitu, teknologi tidak lagi sekadar mempercepat proses baca, tapi juga memperkaya cara kita berpikir.

Menurut @AwanPutih dan Sahabat Pendidik lainnya, bagaimana cara menumbuhkan kebiasaan membaca yang lebih reflektif di tengah derasnya arus informasi digital pada diri peserta didik?”
-
@rose10 berkata di Literasi di Era Digital:
Apakah kemampuan literasi generasi sekarang meningkat karena aksesnya yang luas?
Dari sisi positif, berkembangnya teknologi digital dapat meningkatkan kemampuan literasi generasi sekarang.
Hal penting yang harus diupayakan adalah memanfaatkan teknologi digital secara terpadu dan komprehensif untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda sekarang. -
@rose10 berkata di Literasi di Era Digital:
Betul sekali, pengamatan yang sangat tajam!
Generasi sekarang memang punya akses informasi yang luar biasa luas. Tantangannya justru ada pada kedalaman dalam memahami. Kebiasaan “scroll dulu, paham belakangan” menunjukkan bahwa literasi digital tidak hanya soal membaca cepat, tetapi juga berpikir kritis dan reflektif terhadap informasi yang kita konsumsi.Saya sependapat dengan yang @AwanPutih bilang, penyaring menjadi kunci. Bukan sekadar teknologi penyaring otomatis, melainkan juga penyaring dalam diri: kemampuan memilah informasi, memahami konteks, dan menimbang makna. Dengan begitu, teknologi tidak lagi sekadar mempercepat proses baca, tapi juga memperkaya cara kita berpikir.
Menurut @AwanPutih dan Sahabat Pendidik lainnya, bagaimana cara menumbuhkan kebiasaan membaca yang lebih reflektif di tengah derasnya arus informasi digital pada diri peserta didik?”
Terima kasih Ibu @rose10 responnya sangat bernas

Pertanyaan penutup Ibu juga sangat menarik: bagaimana menumbuhkan kebiasaan membaca yang lebih reflektif?Agar diskusinya semakin kaya, saya ingin mengajak Sahabat Pendidik berbagi lebih konkret:
Apakah ada kebiasaan atau teknik tertentu yang sudah diterapkan di kelas/sekolah untuk mendorong anak berhenti sejenak sebelum berpindah bacaan?
Misalnya jurnal refleksi singkat, pertanyaan pemantik setelah membaca, atau diskusi kecil sebelum menyimpulkan?Kami penasaran juga:
Apakah refleksi perlu diajarkan sebagai keterampilan, atau cukup dibiasakan melalui suasana belajar yang mendukung?Silakan teman-teman pendidik berbagi contoh praktik baik, cara sederhana, atau pengalaman lapangan. Diskusi seperti ini justru membantu kita menemukan strategi yang bisa diterapkan di berbagai sekolah dan konteks.
-
@BasokE berkata di Literasi di Era Digital:
Dari sisi positif, berkembangnya teknologi digital dapat meningkatkan kemampuan literasi generasi sekarang.
Hal penting yang harus diupayakan adalah memanfaatkan teknologi digital secara terpadu dan komprehensif untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda sekarang.Setuju sekali dengan pandangan tersebut @BasokE
Akses yang luas melalui teknologi digital memang membuka peluang besar bagi peningkatan kemampuan literasi. Generasi sekarang bisa belajar dari berbagai sumber, lintas batas waktu dan tempat. Namun, akses tidak otomatis berarti pemahaman mendalam. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat penting.
Sahabat Pendidik dan satuan pendidikan perlu membantu peserta didik mengintegrasikan tiga aspek utama literasi digital:
Kognitif : memahami dan mengolah informasi dengan kritis,
Psikomotorik : mempraktikkan keterampilan digital secara kreatif dan produktif,
Afektif : membangun etika, tanggung jawab, dan empati dalam berinteraksi di dunia digital.
Dengan pendekatan terpadu ini, teknologi tidak hanya menjadi alat baca, tetapi juga sarana pembentuk karakter dan budaya literasi yang berkelanjutan.
-
@BasokE berkata di Literasi di Era Digital:
Dari sisi positif, berkembangnya teknologi digital dapat meningkatkan kemampuan literasi generasi sekarang.
Hal penting yang harus diupayakan adalah memanfaatkan teknologi digital secara terpadu dan komprehensif untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda sekarang.Saya setuju dengan pandangan ini, Pak @BasokE. Teknologi memang bisa jadi peluang besar untuk meningkatkan literasi, selama pemanfaatannya tidak hanya sebatas konsumsi informasi, tetapi juga pembentukan sikap dan keterampilan.
Menurut saya, tantangan terbesarnya justru ada pada “bagaimana cara menggunakan teknologi dengan bijak”, bukan sekadar sering mengaksesnya. Karena literasi yang utuh memang menyentuh 3 aspek seperti yang Bapak/Ibu sebutkan: afektif, kognitif, dan psikomotorik.
Menarik juga kalau dipikirkan lebih jauh:
bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari?
Misalnya, bagaimana teknologi bisa membantu anak membangun karakter (afektif), bukan hanya kemampuan akademik?Menurut saya ini hal yang penting untuk terus didiskusikan

-
@BasokE berkata di Literasi di Era Digital:
@rose10 berkata di Literasi di Era Digital:
Apakah kemampuan literasi generasi sekarang meningkat karena aksesnya yang luas?
Dari sisi positif, berkembangnya teknologi digital dapat meningkatkan kemampuan literasi generasi sekarang.
Hal penting yang harus diupayakan adalah memanfaatkan teknologi digital secara terpadu dan komprehensif untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda sekarang.Terima kasih atas pandangannya Pak @BasokE

Benar sekali, jika dimanfaatkan dengan tepat, teknologi digital memang bisa menjadi sarana peningkatan literasi secara menyeluruh: bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga membentuk karakter, cara berpikir, dan keterampilan nyata.Yang menarik dari pernyataan Bapak adalah penekanan pada integrasi yang komprehensif (afektif, kognitif, dan psikomotorik).
Sering kali pembelajaran digital hanya fokus pada “pengetahuan”, padahal unsur sikap dan keterampilan justru sangat menentukan kebermaknaan belajar.Untuk memperkaya diskusi, izinkan saya menanyakan lanjutan:
Menurut Bapak, strategi apa yang paling efektif agar pemanfaatan teknologi bukan hanya bersifat akses pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan keterampilan?
Apakah melalui:
- pembiasaan refleksi,
- proyek berbasis masalah,
- kolaborasi digital,
- atau pendampingan literasi digital secara berkelanjutan?
Kami menunggu pengalaman dan pandangan dari Sahabat Pendidik lainnya.

-
@AwanPutih Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
-
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
@AwanPutih Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
Hehe bener banget @sippymatcha … sebagai “perwakilan generasi zzzz” aku juga ngerasain hal yang sama

Informasi datang sekenceng roket, tapi kemampuan baca mendalam kadang masih kecepatan kura-kura

Sering juga tuh cuma lihat judulnya doang, langsung ikut panas… padahal isi beritanya beda jauh sama ekspektasi. Jujurly gampang “kegoreng” wkwk 🫠
Menurutku justru disini tantangannya: gimana caranya tetap melek teknologi, tapi juga menjaga ketenangan sebelum auto share atau auto percaya. Pelan-pelan belajar literasi digital biar nggak jadi korban clickbait garis keras lagi

-
@AwanPutih berkata di Literasi di Era Digital:
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
@AwanPutih Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
Hehe bener banget @sippymatcha … sebagai “perwakilan generasi zzzz” aku juga ngerasain hal yang sama

Informasi datang sekenceng roket, tapi kemampuan baca mendalam kadang masih kecepatan kura-kura

Sering juga tuh cuma lihat judulnya doang, langsung ikut panas… padahal isi beritanya beda jauh sama ekspektasi. Jujurly gampang “kegoreng” wkwk 🫠
Menurutku justru disini tantangannya: gimana caranya tetap melek teknologi, tapi juga menjaga ketenangan sebelum auto share atau auto percaya. Pelan-pelan belajar literasi digital biar nggak jadi korban clickbait garis keras lagi

Betul, generasi Z dan yang lebih muda: gampang "kegoreng" alias jarang "baca caption"
. Saya sebagai generasi pra-Z lebih suka membaca secara konvensional alias buku fisik, bisa perlahan-lahan, bisa merasakan lekukan buku, harusnya kertas, dan menikmati alur cerita.Tapi dengan adanya teknologi ya mau tidak mau harus beradaptasi.
-
@dekisugi berkata di Literasi di Era Digital:
@AwanPutih berkata di Literasi di Era Digital:
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
@AwanPutih Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
Hehe bener banget @sippymatcha … sebagai “perwakilan generasi zzzz” aku juga ngerasain hal yang sama

Informasi datang sekenceng roket, tapi kemampuan baca mendalam kadang masih kecepatan kura-kura

Sering juga tuh cuma lihat judulnya doang, langsung ikut panas… padahal isi beritanya beda jauh sama ekspektasi. Jujurly gampang “kegoreng” wkwk 🫠
Menurutku justru disini tantangannya: gimana caranya tetap melek teknologi, tapi juga menjaga ketenangan sebelum auto share atau auto percaya. Pelan-pelan belajar literasi digital biar nggak jadi korban clickbait garis keras lagi

Betul, generasi Z dan yang lebih muda: gampang "kegoreng" alias jarang "baca caption"
. Saya sebagai generasi pra-Z lebih suka membaca secara konvensional alias buku fisik, bisa perlahan-lahan, bisa merasakan lekukan buku, harusnya kertas, dan menikmati alur cerita.Tapi dengan adanya teknologi ya mau tidak mau harus beradaptasi.
Wahhh ini relate banget

Generasi pra-Z: “baca buku pelan-pelan sambil ngopi dan menikmati aromanya…”
Generasi Z: “scroll… scroll… scroll… eh trending apa nih??”

Tapi benar sih, pada akhirnya kita semua dipaksa “menyatu” dengan teknologi, mau generasi buku atau generasi scroll, tetap harus adaptasi bareng

Mungkin PR kita sekarang adalah bukan cuma cepat dapat info, tapi juga cepat menyaringnya

Biar gak gampang panas minyak goreng tiap lihat judul clickbait

Seru juga ya lihat perbedaan kebiasaan lintas generasi tapi tujuannya tetap sama: cari ilmu

-
@Admin-1 berkata di Literasi di Era Digital:
Menurut Bapak, strategi apa yang paling efektif agar pemanfaatan teknologi bukan hanya bersifat akses pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan keterampilan?
Menurut saya, untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda, strateginya adalah dilakukan secara terpadu dan komprehensif serta menyeimbangkan (memproporsionalkan) aktivitas luring (offline) dan daring (online).
-
Pembahasan tentang kemampuan literasi generasi muda menghadirkan paradoks menarik di tengah kemajuan teknologi digital. Di satu sisi, generasi ini hidup di era serba cepat dengan akses informasi tanpa batas. Mereka dapat melakukan aktivitas membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan leluasa. Di sisi lain, kebiasaan mereka membaca singkat, berpikir instan, dan terburu-buru menyimpulkan informasi membuat kemampuan literasi menjadi dangkal. Di sinilah peran sekolah menjadi penting. Tidak ada salahnya peran sekolah "di-setting" ulang, bukan sekadar sebagai tempat menimba ilmu, melainkan juga sebagai tempat untuk menempa kemampuan berliterasi, seperti mengolah, mengelola, dan meneruskan informasi digital secara kritis.
-
@AwanPutih berkata di Literasi di Era Digital:
@dekisugi berkata di Literasi di Era Digital:
@AwanPutih berkata di Literasi di Era Digital:
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
@AwanPutih Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
Hehe bener banget @sippymatcha … sebagai “perwakilan generasi zzzz” aku juga ngerasain hal yang sama

Informasi datang sekenceng roket, tapi kemampuan baca mendalam kadang masih kecepatan kura-kura

Sering juga tuh cuma lihat judulnya doang, langsung ikut panas… padahal isi beritanya beda jauh sama ekspektasi. Jujurly gampang “kegoreng” wkwk 🫠
Menurutku justru disini tantangannya: gimana caranya tetap melek teknologi, tapi juga menjaga ketenangan sebelum auto share atau auto percaya. Pelan-pelan belajar literasi digital biar nggak jadi korban clickbait garis keras lagi

Betul, generasi Z dan yang lebih muda: gampang "kegoreng" alias jarang "baca caption"
. Saya sebagai generasi pra-Z lebih suka membaca secara konvensional alias buku fisik, bisa perlahan-lahan, bisa merasakan lekukan buku, harusnya kertas, dan menikmati alur cerita.Tapi dengan adanya teknologi ya mau tidak mau harus beradaptasi.
Wahhh ini relate banget

Generasi pra-Z: “baca buku pelan-pelan sambil ngopi dan menikmati aromanya…”
Generasi Z: “scroll… scroll… scroll… eh trending apa nih??”

Tapi benar sih, pada akhirnya kita semua dipaksa “menyatu” dengan teknologi, mau generasi buku atau generasi scroll, tetap harus adaptasi bareng

Mungkin PR kita sekarang adalah bukan cuma cepat dapat info, tapi juga cepat menyaringnya

Biar gak gampang panas minyak goreng tiap lihat judul clickbait

Seru juga ya lihat perbedaan kebiasaan lintas generasi tapi tujuannya tetap sama: cari ilmu

Mungkin di forum ini juga akan ada generasi pra-pra-pra Z
, yang tentunya teknologi di jamannya sangat konvensional dan berpengaruh tentunya dengan cara memahami informasi.Genarasi Z dan seterusnya saya kira punya karakter yang sebetulnya bagus yaitu "terlalu kritis". Tapi ya karakter ini harus dimanage dengan baik.
-
@mint2025 berkata di Literasi di Era Digital:
Pembahasan tentang kemampuan literasi generasi muda menghadirkan paradoks menarik di tengah kemajuan teknologi digital. Di satu sisi, generasi ini hidup di era serba cepat dengan akses informasi tanpa batas. Mereka dapat melakukan aktivitas membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan leluasa. Di sisi lain, kebiasaan mereka membaca singkat, berpikir instan, dan terburu-buru menyimpulkan informasi membuat kemampuan literasi menjadi dangkal. Di sinilah peran sekolah menjadi penting. Tidak ada salahnya peran sekolah "di-setting" ulang, bukan sekadar sebagai tempat menimba ilmu, melainkan juga sebagai tempat untuk menempa kemampuan berliterasi, seperti mengolah, mengelola, dan meneruskan informasi digital secara kritis.
Plus di lingkungan rumah @mint2025 supaya orang tua juga membiasakan anak-anaknya untuk mampu ber-literasi dengan baik. Sehingga semua pihak memiliki peran yang sama untuk meningkatkan literasi generasi muda.
Herannya orang tua yang saat ini generasi Z terkesan menyerahkan semuanya kepada lingkungan sekolah alias kalau bahasa perancisnya, pasrah bongkok-an.

-
@mint2025 Setuju sekali dengan mimin, perlu adanya tips dan trik agar generasi ini lebih senang membaca dan tentunya juga memahami bacaan tersebut dengan gemerlapnya teknologi yang ada sekarang. Kira-Kira ada yang boleh bagi tipsnya ngga ya biar gen zzz kayak aku nii lebih suka membaca? karna sebenernya aku anaknya visual bangett

-
@dekisugi Setujuu bangett nih temen doraemon, meningkatkan literasi digital anak tidak hanya menjadi tanggungjawab guru di sekolah tapi juga tentunya orang tua juga dalam menemani dan mendampingi anak dirumah. Generasi gen zzz yang sudah jadi orang tua wajib memberikan contoh positif bagi anaknya ya xixixi
-
@dekisugi berkata di Literasi di Era Digital:
Mungkin di forum ini juga akan ada generasi pra-pra-pra Z , yang tentunya teknologi di jamannya sangat konvensional dan berpengaruh tentunya dengan cara memahami informasi.
Genarasi Z dan seterusnya saya kira punya karakter yang sebetulnya bagus yaitu "terlalu kritis". Tapi ya karakter ini harus dimanage dengan baik.
Wkwk iya bener juga @dekisugi , mungkin di forum ini bukan cuma pra-Z, tapi pra-pra-pra-Z juga hadir

yang dulu hafal jadwal TV mingguan, sekarang harus adaptasi sama scroll yang 24 jam nonstop.Kalau soal Gen Z ‘terlalu kritis’… jujur kadang bukan niat mau kritis, tapi otaknya memang otomatis nanya:
️ “Kenapa harus begitu?”
️ “Bisa nggak dibuat lebih simpel?”
️ “Ini relevan nggak sih sama hidup gue?” 
Jadi kesannya bawel

Padahal itu mode debugging realita aja.Tapi setuju banget, poin pentingnya bukan cuma kritikal, tapi terarah.
Kalau nggak dikelola, kritik = debat kusir
Tapi kalau terkelola, kritik = tumbuhnya pemahaman yang mendalam.Biar kata beda era, beda gaya belajar, tapi ujungnya sama:
kita semua lagi belajar gimana caranya mikir lebih dalam tanpa tenggelam sama formalitas

Karena jujur aja…
Gen Z itu bukan anti aturan…
cuma anti ribet tanpa alasan

-
@dekisugi berkata di Literasi di Era Digital:
@mint2025 berkata di Literasi di Era Digital:
Pembahasan tentang kemampuan literasi generasi muda menghadirkan paradoks menarik di tengah kemajuan teknologi digital. Di satu sisi, generasi ini hidup di era serba cepat dengan akses informasi tanpa batas. Mereka dapat melakukan aktivitas membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan leluasa. Di sisi lain, kebiasaan mereka membaca singkat, berpikir instan, dan terburu-buru menyimpulkan informasi membuat kemampuan literasi menjadi dangkal. Di sinilah peran sekolah menjadi penting. Tidak ada salahnya peran sekolah "di-setting" ulang, bukan sekadar sebagai tempat menimba ilmu, melainkan juga sebagai tempat untuk menempa kemampuan berliterasi, seperti mengolah, mengelola, dan meneruskan informasi digital secara kritis.
Plus di lingkungan rumah @mint2025 supaya orang tua juga membiasakan anak-anaknya untuk mampu ber-literasi dengan baik. Sehingga semua pihak memiliki peran yang sama untuk meningkatkan literasi generasi muda.
Herannya orang tua yang saat ini generasi Z terkesan menyerahkan semuanya kepada lingkungan sekolah alias kalau bahasa perancisnya, pasrah bongkok-an.

Hahaha betul banget nih @dekisugi @mint2025

Kadang ekspektasinya gini:
Sekolah tolong jadikan anak saya literat, kritis, kreatif, berkarakter, melek digital… sementara di rumah tugas saya cuma… kasih HP dan wifi
Padahal literasi itu bukan cuma urusan kurikulum, tapi habit harian, dan kebiasaan paling kuat justru lahir dari rumah.
Dan ironisnya, orang tua Gen Z banyak yang dulu mengeluh soal sistem lama,
tapi sekarang… malah auto delegasi ke sekolah begitu jadi orang tua wkwk 🤭Kalau mau jujur:
anak-anak itu ngikut bukan dari apa yang diajarin,
tapi dari apa yang DICONTOHKAN.Kalau di rumah:
orang tuanya scroll TikTok → anak ikut scroll
orang tuanya baca → anak ikut baca
🧠 orang tuanya reflektif → anak ikut berpikirJadi bener, literasi itu “keroyokan bareng” — sekolah ngarahin, tapi rumah yang nenemin.
Karena kalau semua dilempar ke sekolah aja……ya nanti yang literat gurunya, yang melek digital gurunya,
yang kritis gurunya…
anaknya? ikut buffering

-
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
Setuju sekali dengan mimin, perlu adanya tips dan trik agar generasi ini lebih senang membaca dan tentunya juga memahami bacaan tersebut dengan gemerlapnya teknologi yang ada sekarang. Kira-Kira ada yang boleh bagi tipsnya ngga ya biar gen zzz kayak aku nii lebih suka membaca? karna sebenernya aku anaknya visual bangett
Toss dulu dong kitaaa @sippymatcha
aku juga tim visual banget, jadi baca teks doang kadang otaknya auto sleep mode 
Apalagi kalau paragrafnya panjang… langsung scroll by instinct
Tapi sebenernya gen z bukan nggak suka baca,
kita cuma butuh format yang nyambung sama cara otak kita menikmati informasi.Beberapa trik yang biasanya works buat ‘otak visual + gampang ke-distract’ kayak kita:
1. Baca versi pendek dulu (teaser) baru lanjut panjang
otak kita butuh ‘pemanasan’, bukan langsung bab 7
2. Gunakan konten visual / mindmap / ilustrasi
kalau isinya ada gambar → otak bilang: “ok aku stay”
3. Ganti tempat & suasana
kadang yang bikin males tuh bukan bukunya, tapi mood-nya
4. Baca yang relevan sama hidup sendiri dulu
kalau topiknya ‘nyambung’, minat dateng otomatisjadi kuncinya bukan ‘paksain diri jadi kutu buku’,
tapi ‘cari gaya baca yang cocok sama karakter diri’.Kalau pakai bahasa Gen Z:
“Bacanya bukan malas, cuma formatnya belum usable untuk otakku.”


Penasaran juga sih…
kalo tips dari teman-teman Sahabat Pendidik lain,
apa cara paling efektif bikin anak-anak melek baca sambil enjoy,
bukan baca karena disuruh?

-
@BasokE berkata di Literasi di Era Digital:
Menurut saya, untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda, strateginya adalah dilakukan secara terpadu dan komprehensif serta menyeimbangkan (memproporsionalkan) aktivitas luring (offline) dan daring (online).
Setuju banget sih dengan Pak @BasokE , apalagi sekarang semuanya tuh udah serba online. Kalau cuma ngandelin salah satu (offline atau online) rasanya jadi kurang seimbang.
Belajar afektif, kognitif, dan psikomotorik itu butuh “lapangan” juga, nggak cuma teori.Offline-nya dapat dari pengalaman langsung dan interaksi sosial,
Online-nya bantu akses informasi cepat dan luas.Jadi kalo digabung:
belajar jadi fleksibel + tetap grounded sama nilai-nilai kehidupan nyata.Karena masa depan tuh butuh soft skill sama hard skill, bukan salah satunya aja
