Literasi di Era Digital
-
@mint2025 berkata di Literasi di Era Digital:
Pembahasan tentang kemampuan literasi generasi muda menghadirkan paradoks menarik di tengah kemajuan teknologi digital. Di satu sisi, generasi ini hidup di era serba cepat dengan akses informasi tanpa batas. Mereka dapat melakukan aktivitas membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan leluasa. Di sisi lain, kebiasaan mereka membaca singkat, berpikir instan, dan terburu-buru menyimpulkan informasi membuat kemampuan literasi menjadi dangkal. Di sinilah peran sekolah menjadi penting. Tidak ada salahnya peran sekolah "di-setting" ulang, bukan sekadar sebagai tempat menimba ilmu, melainkan juga sebagai tempat untuk menempa kemampuan berliterasi, seperti mengolah, mengelola, dan meneruskan informasi digital secara kritis.
Plus di lingkungan rumah @mint2025 supaya orang tua juga membiasakan anak-anaknya untuk mampu ber-literasi dengan baik. Sehingga semua pihak memiliki peran yang sama untuk meningkatkan literasi generasi muda.
Herannya orang tua yang saat ini generasi Z terkesan menyerahkan semuanya kepada lingkungan sekolah alias kalau bahasa perancisnya, pasrah bongkok-an.

-
@mint2025 Setuju sekali dengan mimin, perlu adanya tips dan trik agar generasi ini lebih senang membaca dan tentunya juga memahami bacaan tersebut dengan gemerlapnya teknologi yang ada sekarang. Kira-Kira ada yang boleh bagi tipsnya ngga ya biar gen zzz kayak aku nii lebih suka membaca? karna sebenernya aku anaknya visual bangett

-
@dekisugi Setujuu bangett nih temen doraemon, meningkatkan literasi digital anak tidak hanya menjadi tanggungjawab guru di sekolah tapi juga tentunya orang tua juga dalam menemani dan mendampingi anak dirumah. Generasi gen zzz yang sudah jadi orang tua wajib memberikan contoh positif bagi anaknya ya xixixi
-
@dekisugi berkata di Literasi di Era Digital:
Mungkin di forum ini juga akan ada generasi pra-pra-pra Z , yang tentunya teknologi di jamannya sangat konvensional dan berpengaruh tentunya dengan cara memahami informasi.
Genarasi Z dan seterusnya saya kira punya karakter yang sebetulnya bagus yaitu "terlalu kritis". Tapi ya karakter ini harus dimanage dengan baik.
Wkwk iya bener juga @dekisugi , mungkin di forum ini bukan cuma pra-Z, tapi pra-pra-pra-Z juga hadir

yang dulu hafal jadwal TV mingguan, sekarang harus adaptasi sama scroll yang 24 jam nonstop.Kalau soal Gen Z ‘terlalu kritis’… jujur kadang bukan niat mau kritis, tapi otaknya memang otomatis nanya:
️ “Kenapa harus begitu?”
️ “Bisa nggak dibuat lebih simpel?”
️ “Ini relevan nggak sih sama hidup gue?” 
Jadi kesannya bawel

Padahal itu mode debugging realita aja.Tapi setuju banget, poin pentingnya bukan cuma kritikal, tapi terarah.
Kalau nggak dikelola, kritik = debat kusir
Tapi kalau terkelola, kritik = tumbuhnya pemahaman yang mendalam.Biar kata beda era, beda gaya belajar, tapi ujungnya sama:
kita semua lagi belajar gimana caranya mikir lebih dalam tanpa tenggelam sama formalitas

Karena jujur aja…
Gen Z itu bukan anti aturan…
cuma anti ribet tanpa alasan

-
@dekisugi berkata di Literasi di Era Digital:
@mint2025 berkata di Literasi di Era Digital:
Pembahasan tentang kemampuan literasi generasi muda menghadirkan paradoks menarik di tengah kemajuan teknologi digital. Di satu sisi, generasi ini hidup di era serba cepat dengan akses informasi tanpa batas. Mereka dapat melakukan aktivitas membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan leluasa. Di sisi lain, kebiasaan mereka membaca singkat, berpikir instan, dan terburu-buru menyimpulkan informasi membuat kemampuan literasi menjadi dangkal. Di sinilah peran sekolah menjadi penting. Tidak ada salahnya peran sekolah "di-setting" ulang, bukan sekadar sebagai tempat menimba ilmu, melainkan juga sebagai tempat untuk menempa kemampuan berliterasi, seperti mengolah, mengelola, dan meneruskan informasi digital secara kritis.
Plus di lingkungan rumah @mint2025 supaya orang tua juga membiasakan anak-anaknya untuk mampu ber-literasi dengan baik. Sehingga semua pihak memiliki peran yang sama untuk meningkatkan literasi generasi muda.
Herannya orang tua yang saat ini generasi Z terkesan menyerahkan semuanya kepada lingkungan sekolah alias kalau bahasa perancisnya, pasrah bongkok-an.

Hahaha betul banget nih @dekisugi @mint2025

Kadang ekspektasinya gini:
Sekolah tolong jadikan anak saya literat, kritis, kreatif, berkarakter, melek digital… sementara di rumah tugas saya cuma… kasih HP dan wifi
Padahal literasi itu bukan cuma urusan kurikulum, tapi habit harian, dan kebiasaan paling kuat justru lahir dari rumah.
Dan ironisnya, orang tua Gen Z banyak yang dulu mengeluh soal sistem lama,
tapi sekarang… malah auto delegasi ke sekolah begitu jadi orang tua wkwk 🤭Kalau mau jujur:
anak-anak itu ngikut bukan dari apa yang diajarin,
tapi dari apa yang DICONTOHKAN.Kalau di rumah:
orang tuanya scroll TikTok → anak ikut scroll
orang tuanya baca → anak ikut baca
🧠 orang tuanya reflektif → anak ikut berpikirJadi bener, literasi itu “keroyokan bareng” — sekolah ngarahin, tapi rumah yang nenemin.
Karena kalau semua dilempar ke sekolah aja……ya nanti yang literat gurunya, yang melek digital gurunya,
yang kritis gurunya…
anaknya? ikut buffering

-
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
Setuju sekali dengan mimin, perlu adanya tips dan trik agar generasi ini lebih senang membaca dan tentunya juga memahami bacaan tersebut dengan gemerlapnya teknologi yang ada sekarang. Kira-Kira ada yang boleh bagi tipsnya ngga ya biar gen zzz kayak aku nii lebih suka membaca? karna sebenernya aku anaknya visual bangett
Toss dulu dong kitaaa @sippymatcha
aku juga tim visual banget, jadi baca teks doang kadang otaknya auto sleep mode 
Apalagi kalau paragrafnya panjang… langsung scroll by instinct
Tapi sebenernya gen z bukan nggak suka baca,
kita cuma butuh format yang nyambung sama cara otak kita menikmati informasi.Beberapa trik yang biasanya works buat ‘otak visual + gampang ke-distract’ kayak kita:
1. Baca versi pendek dulu (teaser) baru lanjut panjang
otak kita butuh ‘pemanasan’, bukan langsung bab 7
2. Gunakan konten visual / mindmap / ilustrasi
kalau isinya ada gambar → otak bilang: “ok aku stay”
3. Ganti tempat & suasana
kadang yang bikin males tuh bukan bukunya, tapi mood-nya
4. Baca yang relevan sama hidup sendiri dulu
kalau topiknya ‘nyambung’, minat dateng otomatisjadi kuncinya bukan ‘paksain diri jadi kutu buku’,
tapi ‘cari gaya baca yang cocok sama karakter diri’.Kalau pakai bahasa Gen Z:
“Bacanya bukan malas, cuma formatnya belum usable untuk otakku.”


Penasaran juga sih…
kalo tips dari teman-teman Sahabat Pendidik lain,
apa cara paling efektif bikin anak-anak melek baca sambil enjoy,
bukan baca karena disuruh?

-
@BasokE berkata di Literasi di Era Digital:
Menurut saya, untuk meningkatkan sikap/karakter (afektif), pengetahuan/wawasan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik) generasi muda, strateginya adalah dilakukan secara terpadu dan komprehensif serta menyeimbangkan (memproporsionalkan) aktivitas luring (offline) dan daring (online).
Setuju banget sih dengan Pak @BasokE , apalagi sekarang semuanya tuh udah serba online. Kalau cuma ngandelin salah satu (offline atau online) rasanya jadi kurang seimbang.
Belajar afektif, kognitif, dan psikomotorik itu butuh “lapangan” juga, nggak cuma teori.Offline-nya dapat dari pengalaman langsung dan interaksi sosial,
Online-nya bantu akses informasi cepat dan luas.Jadi kalo digabung:
belajar jadi fleksibel + tetap grounded sama nilai-nilai kehidupan nyata.Karena masa depan tuh butuh soft skill sama hard skill, bukan salah satunya aja

-
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
@mint2025 Setuju sekali dengan mimin, perlu adanya tips dan trik agar generasi ini lebih senang membaca dan tentunya juga memahami bacaan tersebut dengan gemerlapnya teknologi yang ada sekarang. Kira-Kira ada yang boleh bagi tipsnya ngga ya biar gen zzz kayak aku nii lebih suka membaca? karna sebenernya aku anaknya visual bangett

Menurutku ini poin yang penting banget pak @mint2025 , karena kita memang hidup di dua dunia sekaligus: dunia digital yang super cepat, dan dunia nyata yang butuh proses dan kedalaman.
Akses informasi sekarang gampang, tapi ngolah informasinya itu yang jadi tantangan terbesar.Makanya sekolah nggak cukup cuma jadi tempat “dapat materi”, tapi juga tempat kita dilatih buat membedakan mana informasi yang bener, mana yang cuma lewat doang, terus gimana cara nge-responnya secara kritis dan bertanggung jawab.
Biar literasi kita nggak cuma “bisa baca”, tapi bisa paham, mencerna, dan meneruskan dengan tepat.
Kalau peran sekolah bisa di-upgrade ke arah sana, generasi muda bakal lebih siap buat survive di era digital, bukan cuma sekadar jadi “konsumen informasi”, tapi juga “pengolah dan penghasil informasi”.
-
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
Hehe, jujurly… pengakuan yang sangat relate banget


Selamat ya, kesadaran seperti yang @sippymatcha tulis ini merupakan langkah pertama menuju literasi digital yang lebih matang. Saat kita mulai sadar bahwa “mudah tergoreng” itu tanda perlu lebih kritis, artinya proses belajar sedang berjalan.
Mungkin yang perlu kita latih bersama adalah slow reading di dunia cepat membaca dengan pikiran terbuka, tapi juga dengan saringan kritis.
Tantangan yang perlu kita jawab “Bagaimana cara menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis di tengah budaya baca cepat dan headline yang menggoda?”
-
@rose10 berkata di Literasi di Era Digital:
@sippymatcha berkata di Literasi di Era Digital:
Sebagai salah satu contoh generasi zzzz disini aku menyadari bahwa informasi datang secara cepat dan terkadang kita hanya fokus pada judul yang menarik dan sering kali lupa membaca detail beritanya seperti apa. Jujurly mudah tergoreng goreng dengan berita yang ada juga huhu
Hehe, jujurly… pengakuan yang sangat relate banget


Selamat ya, kesadaran seperti yang @sippymatcha tulis ini merupakan langkah pertama menuju literasi digital yang lebih matang. Saat kita mulai sadar bahwa “mudah tergoreng” itu tanda perlu lebih kritis, artinya proses belajar sedang berjalan.
Mungkin yang perlu kita latih bersama adalah slow reading di dunia cepat membaca dengan pikiran terbuka, tapi juga dengan saringan kritis.
Tantangan yang perlu kita jawab “Bagaimana cara menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis di tengah budaya baca cepat dan headline yang menggoda?”
HAHA iyaa kadang bukan kurang literasi, tapi kebanyakan kecepatan jempol


Belom sempet mikir udah goreng duluan… headline lewat dikit langsung: “WOAAH BENER NIH??” padahal isinya beda jauh
Btw bener juga ya Bu @rose10 , tantangannya bukan cuma ‘mau baca’, tapi mau pelan-pelan baca dengan otak nyala, bukan cuma mata scroll


Soalnya kalo bacanya ngebut terus, yang kerja cuma jempol bukan otak
Mungkin kita butuh “mode slow read” kayak slow-mo di kamera wkwk, biar informasinya nggak cuma numpang lewat, tapi beneran nyantol 🧠

Jadi penasaran juga nih...
teman-teman biasanya punya trik apa biar gak gampang ‘kegoreng’ sama headline?
ada yang ‘fact check dulu’ atau ‘tutup app → tarik napas → balik lagi’?